C

Begitu aku sadar, dia telah terbaring berlumuran darah. Tak bernyawa. Dan aku memegang pisau yang menjadi penyebab kematiannya. Aku menusuknya.

“Tidak mungkin..”

S

Bel sekolah kembali berbunyi, menandakan satu lagi penderitaan yang menyeret tubuhku. Tidak ada yang lebih baik dari ini. Dan memang tidak ada. Satu lagi hari di pabrik yang membentukmu menjadi sapi-sapi perah para konglomerat. Satu hari lagi pelajaran-pelajaran tak berisi, satu hari lagi menemui teman-teman seperjuangan, satu penderitaan. Oh, dunia modern yang memuakkan.

Kecuali satu. Dia, yang kutahu hanya satu-satunya oasis dalam gurun pasir ini. Tapi gadis itu tidak bisa kuraih. Tidak akan bisa. Hanya impian, titik. Aneh, bahwa dengan kemungkinan yang sangat kecil akan lebih realistis untuk membayangkannya saja daripada berusaha. Jelas melawan logika, tapi tidak ada cinta yang tidak melawan logika. Lagipula, faktanya aku tidak akan pernah mendapatkan dia.

Aku ini pengecut.

Guru masuk, pelajaran dimulai. Begitu biasa. Seperti biasa, hanya biasa saja lengkap dengan gumaman, obrolan dan rasa kantuk para murid. Termasuk diriku. Dan semua hanya terhenti dengan kemarahan si guru yang sia-sia saja. Suasana tegang, tapi hanya sesaat dan kembali menguap menjadi rasa malas saat si guru kembali menerangkan. Terus, terus begitu. Lingkaran yang tidak terpatahkan. Kemudian guru itu pergi, dan muncul guru lain. Kembali, kembali begitu, kembali lagi. Semuanya sama, sama tidak kompeten, sama bajingan. Meskipun sebenarnya dengan kejadian yang berulang-ulang sistem yang harus disebut bajingan, bukan para guru.

Lalu diselang oleh istirahat. Para murid kebanyakan pergi ke kantin atau bermain. Aku hanya diam saja, mengumpulkan ruang pribadiku. Aku tidak suka berada di tengah-tengah kerumunan, aku tidak suka jika banyak orang bersamaku. Beberapa dari mereka memang peduli, namun sebatas kepedulian yang tidak bermakna, hanya bertanya tanpa bertindak dan tanpa mengerti. Mereka tidak mengerti diriku, maka aku tidak melihat ada kebutuhan untuk mengerti mereka.

Kembali bel berbunyi, kemudian guru datang kembali, dan proses yang sama terjadi kembali. Terkadang ada guru yang cukup bagus dan membuat murid tertarik, tapi hanya terkadang. Hanya cahaya lilin kecil ditengah kegelapan. Tidak berarti apa-apa, tidak cukup. Dan manusia lebih sering mengingat penderitaan daripada kebahagiaan. Maka, mereka terlupakan dan tidak akan berarti apa-apa.

Dan saat pulang, para murid, termasuk diriku, pulang dengan wajah lemas dan lunglai. Beberapa tidak menyegerakan pulang dan tinggal beberapa lama untuk urusan yang aku sendiri tidak ingin mengetahui. Beberapa yang lain berkumpul bersama dan bermain entah kemana. Aku termasuk yang pulang tanpa melakukan apapun, hanya pulang ke rumah. Selalu begitu, lagipula apa yang harus kulakukan?

Tapi, satu suara dari belakang memanggil dan memecah lingkaran tersebut.

“Aris!”
Tidak mungkin. Suara itu.. tidak mungkin. TIDAK MUNGKIN!!!
“Di.. Diana?”
Tidak, tidak mungkin. Aku pasti bermimpi, aku pasti bermimpi, aku pasti bermimpi, aku pasti bermimpi..
“Wajahmu seperti habis tersambar petir saja. Ayo, ada yang harus kutanyakan padamu.”

Kalau kau berani bangunkan aku, kubunuh kau.

*************

“Ris, kamu bisa bantu aku belajar?”
“Hah?”
“Bukan sawah! Belajar. Matematika. Katanya kamu pintar kan, jadi bantu aku.”

Aku tahu persis itu memang bukan sawah, dan itu tidak lucu. Tapi cinta sudah bersarang menjadi parasit pikiran dan aku tidak akan bisa berpikir jernih lagi. Yah, memang aku dianggap pintar oleh kebanyakan orang, dan banyak orang yang memintaku melakukan hal seperti ini. Tentu saja semuanya kutolak. Tapi, kali ini adalah pengecualian. Tidak ada orang yang akan menolak jika melihat kesempatan emas, kecuali orang bodoh sebodoh-bodohnya orang itu.

Jadi?

I

“Diana, kamu mau pergi denganku?”
“Kemana?”
“Yah, jalan-jalan aja. Lagian bosan belajar terus seperti ini.”
“Hmm.. boleh juga. Tapi kemana?”
Senyuman yang sangat jelas terkembang di wajahku menandai bahwa untuk pertama kalinya dalam hidupku aku ingin berada dekat orang lain. Aku telah takluk, tapi sekarang akulah yang harus menaklukkan. Aneh, aku tak tahu hanya dalam beberapa bulan saja aku dapat berubah dari kukang yang diam menjadi singa ganas. Cinta, parasit pikiran itu yang tidak dapat kulepaskan.

“Yah, mungkin..”

*************

Singkatnya, kami berdua pergi ke tempat yang dia inginkan. Sebuah mall. Lagipula aku tak bisa memilih tempat yang benar-benar bagus. Bahkan aku baru pertama kali ke tempat seperti ini, dan jika bukan karena dia aku telah menjatuhkan harga diriku dengan pergi ke tempat yang penuh orang-orang. Jika aku tidak melihat wajahnya setiap beberapa detik, pasti nafasku sesak karena banyaknya orang yang ada di tempat mengerikan ini.

Tapi melihatnya bahagia sudah cukup. Lebih dari cukup. Dan aku tidak perlu mempedulikan orang lain jika dia bahagia denganku. Hari berganti senja dan kami pulang dengan angkot. Yah, memang bukan cara pulang yang berkesan. Tapi setidaknya tadi cukup menyenangkan. Memang hal yang menyenangkan pasti terasa cepat, menembus waktu. Dan bersamanya.. satu kali sudah cukup seratus tahun waktuku.

Dia akhirnya turun di depan rumahnya. Aku melihatnya masuk ke rumahnya, sebelum angkot yang kunaiki bergegas menjauh. Dan aku tidak bisa menahan senyumku, sekali lagi.

Aku cinta padanya.

I

Semua persiapan telah selesai. Sekarang, dia akan tidur di sini, bersamaku. Selamanya. Selamanya. Aku tak akan melepaskannya. Aku tak akan bisa melepaskannya lagi. Dia harus tetap bersamaku. Aku tak akan lagi hidup tanpanya. Tidak, dia belum mati. Dia belum mati. Dia belum mati. Dia masih hidup, dia masih hidup. Dia masih hidup.

Aku akan bersamanya selamanya.

Aku akan bersamanya selamanya.

Aku akan bersamanya selamanya.

Bahkan takdir pun takkan bisa melawanku, tak akan bisa. Aku mengalahkan takdir, mengalahkan segalanya, bahkan mengalahkan Tuhan. Aku mengalahkan semuanya, demi dia. AKU mengalahkan semua, bahkan diriku sendiri dan berhasil kembali bersamanya. Samudra darah pun takkan mampu menenggelamkan cintaku padanya, atau begitulah kata Gorky.

Takkan ada yang bisa.

U

Diana ternyata amat cantik, lebih cantik dilihat dari dekat dibanding saat aku melihatnya dari kejauhan. Wajahnya bening, rambutnya panjang dan matanya coklat bening berkilat. Setiap pandangannya padaku membakar mukaku. Setiap perkataannya padaku melelehkan telingaku. Setiap tingkah lakunya memacu jantungku. Setiap langkahnya mengirim getaran listrik pada otakku. Segalanya yang ada pada dirinya adalah segalanya yang ada pada diriku.

“Aris?”

Oh, suara itu.

“Aris? Kamu gak apa-apa?”
“E-enggak, aku baik-baik aja kok.” Dia khawatir padaku. Dia khawatir padaku. Satu lagi bagian tubuhku serasa lepas dibuatnya. Aku harus mengambil kesempatan, tapi apa yang dapat kukatakan? Ah, itu dia.

“Eh, Diana.. kenapa kamu ingin dibimbing olehku? Aku tahu ini bukan pertanyaan yang bagus, tapi, yah, aku bukan satu-satunya orang pintar di sekolah, dan aku.. terkenal sebagai orang yang, yah, kau tahu lah. Aku bukan siapa-siapa bagi kebanyakan orang. Aku mungkin hanya seperti robot yang ahli dalam hal-hal seperti ini.”

“Aris.. kenapa kamu harus berpikir seperti itu? Mau bagaimanapun juga, aku menganggapmu temanku. Terima kasih untuk bimbinganmu, Ris, kamu sebenarnya tidak seperti yang orang lain katakan. Yah, aku mengerti kalau orang-orang lain tak bisa dekat denganmu.” Dia tersenyum mengakhiri kalimatnya. Tubuhku melayang.

“Ah..” aku tak bisa berkata-kata lagi. Dia memang.. memang.. ditakdirkan untuk menjadi milikku.

D

Hari-hari terus kulewati bersama Diana. Susah ataupun senang. Orangtuaku? Mereka tidak mengetahuinya, atau tepatnya tidak dapat mengetahuinya. Keduanya sedang dinas di luar negeri untuk waktu yang sangat lama, tepat sebelum Diana tinggal bersamaku. Berarti takdir sudah mengatur agar aku dapat bersamanya.

Diana tidak lagi bersekolah. Dia bilang, dia ingin menjadi penulis. Aku tidak melarangnya. Aku tahu, dia butuh kebebasan. Aku tahu apa yang terbaik baginya. Meskipun semua orang menanyakannya di sekolah, tapi aku bungkam. Lagipula tidak ada yang mengira dia akan bersamaku. Orangtuanya? Mereka juga sedang di luar negeri. Bagaimana takdir mengatur semuanya.. sudah berada di luar pikiranku. Kita memang ditakdirkan untuk bersama, Diana.

Meskipun begitu, semuanya berjalan seperti biasa. Seperti biasa, amat biasa. Bahkan walaupun gosip yang beredar tentang hilangnya Diana merebak, tidak ada yang mencurigaiku. Tidak ada yang tahu. Lagipula, meskipun aku menjadi tersangka utama tetap saja aku hanyalah seonggok barang yang bisa menghasilkan jawaban soal bagi mereka.

Jadi, apa yang perlu dipikirkan?

Sebenarnya aku ingin berkata begitu, tapi tidak bisa. Seorang gadis menghentikanku di pintu gerbang sekolah. Rambutnya pendek, tapi kecantikannya tetap terpancar dari wajahnya. Hidungnya mancung, bibirnya tipis dan sorot matanya kuat, berapi-api. Aku mencoba berjalan melewatinya namun dia tetap menghalangiku.

“Mau apa kamu?”
“Ikut aku.” Dia langsung pergi dan aku mengikutinya, termakan rasa keingintahuan.
“Sebenarnya mau apa kamu?”
“Ris.. bisa ga kamu..”

*************

Dia menjadi murid keduaku. Namanya Diva. Entah apa lagi yang membuatnya ingin menjadi muridku. Yah, sepertinya reputasiku membaik karena Diana. Atau tidak. Aku tidak perlu memusingkannya, yang jelas adalah aku harus berkonsentrasi untuk mengajarinya.

Aneh.

Sepertinya dulu aku tidak ingin melakukan hal-hal seperti ini. Sepertinya dulu aku tidak bisa berbicara dengan orang lain. Sepertinya dulu aku bukan siapa-siapa dan dibenci semua orang. Sepertinya aku dulu tidak seperti ini. Tidak seperti ini. Apa ini juga karena Diana? Cinta, melawan logika dan tetap tak bisa kumengerti. Apa lagi-lagi takdir bermain dalam jalanku?

Apa aku.. sudah berubah?

Tidak ada yang tahu, dan tidak ada yang harus mengetahuinya. Aku adalah aku. Tidak ada yang bisa mengubahnya.

“Aris?”
“Ya? Ada lagi yang sulit?”
“Bukan, itu.. apa bisa kalau besok kita belajar di rumahmu? Aku.. aku.. aku cuma agak risih disini, lagian di rumahmu mungkin lebih tenang.”
“Ya, tentu.”

Aku harap Diana tidak cemburu kalau aku memperkenalkan dirinya. Lagipula, semestinya dia bangga karena aku bisa berbuat baik pada orang lain karena dirinya. Bangga.. tidak pernah sekalipun aku merasa ingin dibanggakan oleh orang lain. Tidak pernah ingin dicemburui. Tidak pernah ingin berbuat baik pada orang lain.

Perubahan.

*************

“Jadi ini rumahmu.. besar juga.”
“Gak terlalu kok. Ayo masuk.”

Aku membuka kunci rumahku dan masuk ke dalam. Dia mengikutiku masuk, matanya masih menyapu seisi rumahku, melihat-lihat. Aku berjalan ke ruang tengah dan dia mengikuti. Namun, langkah-langkah terakhirnya seperti.. tiba-tiba menjadi berat. Aku tidak tahu kenapa, dan aku juga tidak ingin tahu kenapa.

“Rasanya baunya seperti..”
“Apa?”
“Eng, tidak, gak apa-apa.”

Aneh, sepertinya Diva merasa tidak tenang. Tapi aku tidak menghiraukannya. Kita mulai belajar dengan tenang. Meskipun Diva masih terlihat tidak tenang, dia belajar seperti biasa, sesekali bertanya dan mencatat. Dia murid yang baik dan rajin, malah melebihi Diana dalam beberapa hal. Aku sendiri kagum dengan perkembangannya.

“Ris..”
“Apa? Ada yang sulit?”
“Bukan, aku cuma ingin ke kamar kecil.”
“Oh, belok kiri kemudian lurus terus. Ada di ujung.”

Aku melihatnya pergi meninggalkanku menuju kamar kecil perlahan-lahan. Sepertinya Diana masih berada di kamarnya, tidak keluar. Tidak apa-apa. Aku takut dia menjadi cemburu melihat ada orang lain disini.

“AAAAAAAAAAAAAA!!!!”

Teriakan? Diva! Ada apa dengannya?

“Ada apa?”
“Itu.. itu.. apa itu?”

Apa maksudnya dengan ‘itu’? Aku langsung bergegas ke sana untuk melihatnya.

“Aris.. itu.. sejak kapan kau..”

Kulihat pintu kamar di sebelah kamar kecil terbuka. Rupanya Diva masuk ke dalam kamar itu.. kamar Diana. Dia melihat Diana. Lalu kenapa dia begitu.. terkejut?

“Aris, kenapa.. a-ada.. mayat.. di.. sini?” suara Diva terpatah-patah dan mulutnya bergetar. Seluruh tubuhnya bergetar hebat. Kenapa? Tidak ada yang aneh, tidak ada. Mayat? Jangan menipuku, aku bukan orang yang bisa diajak bercanda.

“Mayat? Apa maksudmu dengan mayat? Tidak ada mayat! Itu hanya Diana.”
“Di-di-diana..?” wajah Diva yang sudah pucat menjadi makin pucat. Pupilnya mengecil karena ketakutan, ekspresinya sangat.. tidak bisa digambarkan. Ketakutan sudah menguasainya.

“Ya, Diana. Kenapa kamu takut? Ada yang salah? Atau.. aku belum memperkenalkannya padamu?”
“Ja.. ja.. jangan bercanda!! Itu.. itu jelas-jelas mayat! Kamu tidak bisa melihat? Kamu gila?? Itu.. itu..”
“Apa maksudmu?” Diana memang masih di situ. Tapi, dia hanya duduk diam tak bergerak.

“Diana?”

Dia tetap diam.

“Diana? Diana?”

Tidak ada jawaban.

“Diana?”

“Jangan gila!! Kamu menganggapnya masih hidup? Dia hanya mayat! Dia sudah mati! Dan kenapa.. kenapa mayatnya ada di sini? Apa kamu..”
Bukan. Dia masih hidup. Dia masih hidup. Dia masih hidup. Dia masih..
“Kamu.. kamu membunuhnya?”

Dia masih hidup. Dia masih hidup. Dia masih hidup. Dia masih hidup. Dia..

“Pembunuh! Kamu membunuhnya? Jangan membohongiku!! Kenapa kamu tidak menjawab? Pembunuh! Pembunuh!”

Tidak. Tidak. Tidak. Dia.. dia.. dia..
“Pembunuh!”

Maaf, Ris, tapi aku menolak. Aku menyukai orang lain..

Tidak. Tidak. Tidak, aku bukan pembunuh. Aku bukan pembunuh. Aku..

Jangan, Ris! Tidak!! AAAAAAAAAAH!!!
“Itu bohong kan, Ris? Katakan padaku, itu bohong semata, kan?”

Anak durhaka! Kenapa kau tidak.. Uh!!
Nak! Apa yang akan kau..

“Aku.. aku..”
“Katakan itu bohong, Ris. Itu bohong, kan? Bohong, kan?”
Aku bukan pembunuh. Aku.. aku tidak membunuh mereka semua. Aku tidak.. tidak.. tidak..

Bajingan, apa yang telah kau lakukan pada anak kami? Jawab!
Pak, sudah!
Anak sundal!! Apa yang kau- AAAAGH!!
Tidak! Jangan! AAAAGH!!!

Bukan.. bukan.. mereka.. mereka semua tidak..
“Aku.. aku.. aku tidak.. tidak..”
“Katakan itu bohong, Ris. Itu bohong, kan?”

Aris! Jangan!! Jangan!!! Jangan!!!! Jangan kau tusukkan pisau itu!

Tidak, tidak, tidak.. aku hanya.. hanya..

Pembunuh!

Bukan, bukan, aku bukan… bukan..
“Ris? Apa yang mau kau-“
Pikiranku kosong. Semuanya meledak. Meledak.
“Jangan! Ris!! Aris!! Jangan!!!”
Mati. Semuanya mati.

E

Darah tersimbah. Di depanku, Diva. Tak bernyawa. Aku tidak bisa memikirkan apa-apa lagi. Di sampingku, mayat Diana yang tinggal tulang-belulang. Dia sudah mati. Mati. Mati. Di bawah tempat tidur, mayat kedua orangtuaku dan kedua orangtua Diana. Mati. Semuanya mati. Mereka pun mati.

Diana tidak pernah mencintaiku seperti aku mencintainya. Tidak ada yang pernah mencintaiku. Tidak orangtuaku. Tidak Diana. Tidak orangtuanya. Tidak Diva. Bahkan aku pun tidak mencintai diriku sendiri.

Aku ini pengecut.

Maka, izinkan aku menjadi pengecut untuk yang terakhir kalinya. Menebus kesalahanku dengan diriku sendiri sebagai bayarannya.

-FIN-